Saturday, October 16, 2010

Dialek Melayu Bangka


       Bahasa melambangkan ciri identitas suatu bangsa. Orang dapat mengidentifikasikan suatu kelompok masyarakat melalui bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, masalah kebahasaan tidak terlepas dari kehidupan masyarakat penuturnya. Bahasa dan masyarakat tuturnya memiliki hubungan yang timbal balik.
      Salah satu bahasa dengan jumlah penuturnya terbesar di dunia ini adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu adalah bahasa resmi tulis yang digunakan di istana-istana dan dalam agama pada masa lampau di Nusantara. Pada saat yang sama, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa sehari-hari, bahasa perdagangan, dan bahasa interkasi masyarakat di pasar dan pelabuhan, seperti lingua franca di Levant.    
       Bahasa Melayu memang lebih dari itu. Mengingat kembali kontak bahasa selama berabad-abad dari pelabuhan-pelabuhan yang menggunakan berbagai bahasa di Mediterania, pengembara bangsa Eropa dari zaman itu menggambarkan bahasa Melayu sebagai lingua franca di kawasan Asia Tenggara. Metafora kedua ini memberi tekanan akan persebaran bahasa Melayu yang luas dan berhubungan erat dengan perdagangan, sangat berguna dan dapat menampung serta menyerap ide-ide baru. Dengan demikian, menyamakan bahasa Melayu dengan bahasa-bahasa berpengaruh di dunia pada saat itu adalah tidak mungkin. Peran dan fungsi bahasa Melayu benar-benar melampaui cakupan fungsi dari bahasa-bahasa yang diketahui ada di Eropa.
       Seiring dengan perkembangan bahasa, bahasa melayu pun terbagi menjadi berbagai dialek, dialek Jakarta, dialek Loloan, dialek Ambon, dialek Makasar, dialek Bangka dan lain-lain. Dialek bahasa Melayu yang menjadi objek kajian dalam tuisan ini adalah dialek Bangka.
       Bangka merupakan sebuah pulau yang dipisahkan oleh selat Bangka dari Sumatra. Daerah pemakai bahasa Melayu dialek Bnagka meliputi Pangkalpinang, Mentok, Jebus, Kleapa, Belinyu, Sungailiat, Merawang, Mendo Barat, Pangkalan Baru, Sungai Selan, Payung, Koba, Toboali, dan Lepar Pongok. Pemilihan objek ini dikarenakn dialek Bangka mempunyai hubungan kekerabatan dengan bahasa Melayu dialek Jakarta. Dialek-dialek yang berada di Bangka antara lain Lom, Sungailiat, Mentok, Belinyu, toboali, dan pangkalpinang. Daerah-daerah yang dijadikan pengamatan penelitian, yaitu Belinyu, Gunung Muda, Kacung, Sungailiat, Mentok, Dul, Perlang, Pakuk, dan Gadung.
       Metode yang digunakan dalm penelitian ini adalah metode wawancara. Wawancara dilakukan dengan menggunkan daftar kata swadesh yang dilengkapi dengan daftar pertanyaan tenatng ucapan kata tertentu dan tentang morfonologi dan morfologi. Metode wawancara ini dilakukan disemua titik pengamatan dengan mengambil sampel dua sampai tiga narasumber. Namun, kajian dilakukan dengan lebih mendalam di Arungdalem dengan mengisi daftar kata yang berisi kira-kira 1000 entri.
       Sistematika penyajian dalam buku ini, meliputi keadaan dialek di Bangka, pembagian dialek Bangka dan pemetaan data, hubungan kekerabatan dialek Melayu Bangka dengan dialek Melayu lain.
        Kajian tentang keadaan dialek Bangka ini digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan sinkronik dan pendekatan diakronik. Pendekatan sinkronik dimanfaatkan untuk menganalisis data-data yang ditemukan di titik pengamatan. Pendekatan diakronik ini dimanfaatkan untuk menganalis data yang direkam dari titik pengamatan guna menemukan hubungan kekerabatan diantara dialek-dialek itu.
       Keadaan dialek Bangka diperikan dalam beberapa hal, yakni fonologi, morfologi, dan leksikal. Dari masing-masing bidang tersebut dibedakan atas inovasi dan retensi. Aspek dari ketiga hal tersebut ada yang tampak pada semua dialek Bangka atau kebanyakan dan ada yang muncul pada dialek tertentu pada dialek Bangka.
1.      Inovasi fonologis
       Inovasi yang muncul dalam semua dialek Bangka, antara lain
a.       Bahasa Melayu Purba (BMP) *h hilang secara teratur pada awal kata Dialek Bangka Purba (DBP), kecuali dalam beberapa kata pinjaman. Contoh *hutan > *utan> uatan
b.      Munculnya glotal final. Contoh *Pari > *pari? > Pari?
       Inovasi yang muncul dalam semua atau kebanyakan dialek Bangka kecuali di Mentoak, di Belinyu, dan kadang-kadang di Sungailiat, yaitu
a.       Pada kata trisilabik urutan konsonan yang berbentuk *-Nk- (konsonan sengau + konsonan hambat bersuara) secara teratur disingkat menjadi N. Contohnya, *sembilan > sәmilεn
b.      Vokal yang mengikuti konsonan nasal pada umumnya menjadi vokal sengau. Misalnya, *baŋak > bεŋέk.
c.       Pada umumnya terjadi penambahan konsonan hambat bersuara yang homorgan sebelum *ŋ final.
d.      Konsonan hambat tidak bersuara pada akhir kata mengalami prapenyuaraan.
e.       Vokal tinggi pada akhir kata atau sebelum *h pada umumnya mengalami diftongisasi,
f.       BMP *w > DBP *b
g.      BMP *i atau *u > DBP ε
2.      Retensi fonologis
       Retensi fonologi ini dibagi menjadi dua. Pertama retensi yang muncul dalam semua dialek Bangka, yaitu *e pada silabe akhir.*deŋer > dәŋәr ‘dengar’. Kedua, retensi yang muncul dalam semua dialek Bangka kecuali di Mnetoak dan di Belinyu, yaitu vokal tinggi pada suku kata praakhir kekal, contoh *mirah > mĩra, mirah, mira ‘merah’.

3.      Inovasi morfologis
Inovasi morfologis ini ada beberapa hal, yakni
a.       Afiksasi *-en, *ke- -en, dan *pe- -en.
BMP *rambut-an > *rambuten > *rambeten > *rambet
BMP *kA-turun-an > *keturunen > *kәturun
BMP *pA-mandi-an > *pemandien (mandi?) > *pәmandәn
b.      *-en ‘kausatif, lokatif’
Contoh, *tiris + *-en > tirәh ‘mengiriskan’
c.       *-ken dan *-aken “benefaktif, kausatif’
Contohnya, *malu > malәw * maluken diri > malәk ‘memalukan diri’
d.      *-en atau *-ken
e.       *i ‘lokatif’
Contoh, *kuliti > kulit ‘menguliti’
f.       *-i, *-kәn dan *-kaŋ
Contohnya, garәm > garәmi, suruŋkәŋ.
4.      Retensi morfologis
Ihwal yang terjadi pada retensi morfologis diantaranya, ialah
a.       N- ‘aktif’
Contohnya, *N- + sesah > nәsah, nәsa ‘mencuci’.
b.      *pә- ‘objek, instrumen’
Contohnya, pәtanә ‘menanam’.
c.       *bәr-/bә ‘mempunyai atau memakai’
d.      *tә- ‘dengan tidak sengaja, dapat’
Contohnya, kәtabey ‘tertawa’
e.       –ә’imperatif’
Contohnya, ulәŋә ‘ulangilah’.
5.      Inovasi leksikal
       Setelah dilakukan proses inovasi dan retensi baik secara fonologi, morfologi maupun leksikal, penulis membagi dialek Bangka dan pemetaan data. Pembagian dialek Bangka menjadi subdialek berdasarkan atas ciri pembeda fonologi, morfologi, dan leksikal. Pembagian dialek ini dibagi menjadi tiga. Pertama dialek pedesan. Dialek pedesaaan meliputi pedesaan utara (Kacung, Gunung Muda), dialek pedesaan Tengah (Tuatunu, Dul, Perlang), dialek pedesaan selatan (Arungdalem, Pakek, Gadung). Kedua, subdialek kota pemerintahan (Sungailiat). Ketiga, subdialek kota pelabuhan (Mentok, Belinyu). Dari pembagian dialek ini memunculkan adanya hubungan kekerabtan diantara dialek-dialek tersebut.
            Hubungan kekerabatan bahasa Melayu dialek Bangka dengan dialek lainnya ini berdasarkan fonologi, morfologi, leksikal, dan semantik, baik secara inovasi dan retensi. Setelah dianalisis, dialek Bangka mempunyai hubungan kekerabatan sangat erat dengan dialek Jakrta. Selain dengan dialek Jakarta, dialek Bangka memeliki hubungan kekerabatan dengan dialek Serawak, dialek Kendayan, dialek Seloka, dialek Tioman, dan Iban.  

Friday, October 15, 2010

Bahasa Melayu Sebagai Lingua Franca


Bahasa Melayu adalah sejumlah bahasa yang saling bermiripan yang dituturkan di wilayah Nusantara. Sebagai bahasa yang luas pemakaiannya, bahasa ini menjadi bahasa resmi di Brunei, Indonesia (sebagai bahasa Indonesia), dan Malaysia (juga dikenal sebagai bahasa Malaysia). Bahasa Melayu, yang menjadi bahasa resmi dan bahasa kebangsaan negara Indonesia sejak merdeka, merupakan bahasa yang terbesar di dunia, khususnya negeri-negeri sebelah Asia Tenggara, atau lebih dikenal dengan negeri-negeri Nusantara.
Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di bawah rumpun bahasa Austronesia. Menurut statistik penggunaan bahasa di dunia, penutur bahasa Melayu diperkirakan mencapai lebih kurang 250 juta jiwa yang merupakan bahasa keempat dalam urutan jumlah penutur terpenting bagi bahasa-bahasa di dunia. Di nusantara, bahasa Melayu menjadi lingua franca sejak lebih dari seribu tahun yang lalu. Di masa kini, penutur bahasa Melayu Indonesia sekitar seperempat milyar orang (Tadmor, 2007: 195). Para penutur bahasa Melayu tersebut tersebar sepanjang nusantara, dari barat sampai timur. Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuna berasal dari abad ke-7 Masehi, dan tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatera dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara Pallawa. Selanjutnya, bukti-bukti tertulis bermunculan di berbagai tempat, meskipun dokumen terbanyak kebanyakan mulai berasal dari abad ke-18.
Sejarah penggunaan yang panjang ini tentu saja mengakibatkan perbedaan versi bahasa yang digunakan. Ahli bahasa membagi perkembangan bahasa Melayu ke dalam tiga tahap utama, yaitu
  • Bahasa Melayu Kuna (abad ke-7 hingga abad ke-13)
  • Bahasa Melayu Klasik, mulai ditulis dengan huruf Jawi (sejak abad ke-15)
  • Bahasa Melayu Modern (sejak abad ke-20)
Walaupun demikian, tidak ada bukti bahwa ketiga bentuk bahasa Melayu tersebut saling bersinambung. Selain itu, penggunaan yang meluas di berbagai tempat memunculkan berbagai dialek bahasa Melayu, baik karena penyebaran penduduk dan isolasi, maupun melalui kreolisasi.
Bahasa Melayu Kuno merupakan keluarga bahasa Nusantara. Kegemilangannya dari abad ke-7 hingga abad ke-13 pada zaman kerajaan Sriwijaya, sebagai lingua franca dan bahasa pentadbiran. Penuturnya bahasa Melayu Kuno berada di Semenanjung, Kepulauan Riau dan Sumatera.
Melayu Kuno menjadi lingua franca dan sebagai bahasa pentadbiran karena bersifat sederhana dan mudah menerima pengaruh luar, tidak terikat kepada perbezaan susun lapis masyarakat, dan mempunyai sistem yang lebih mudah berbanding dengan bahasa Jawa. Melayu Kuno banyak dipengaruhi oleh sistem bahasa Sanskrit. Bahasa Sanskrit kemudian dikenal pasti menyumbang kepada pengkayaan kosa  kata dan ciri-ciri keilmuaan (kesarjanaan) Bahasa Melayu. Bahasa Melayu juga mudah dipengaruhi Sanskrit karena: Pengaruh agama Hindu, Bahasa Sanskrit terletak dalam kelas bangsawan, dan dikatakan mempunyai hierarki yang tinggi, dan Sifat bahasa Melayu yang mudah dilentur mengikut keadaan dan keperluan.
Peralihan dari bahasa Melayu Kuno ke bahasa Melayu Klasik dikaitkan dengan pengaruh agama Islam yang semakin mantap di Asia Tenggara pada abad ke-13. Selepas itu, bahasa Melayu mengalami banyak perubahan dari segi kosa kata, struktur ayat dan tulisan.
Selepas masa Sriwijaya, catatan tertulis tentang dan dalam bahasa Melayu baru muncul semenjak masa Kesultanan Malaka (abad ke-15). Laporan Portugis dari abad ke-16 menyebut-nyebut mengenai perlunya penguasaan bahasa Melayu untuk bertransaksi perdagangan. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Portugis di Malaka, dan bermunculannya berbagai kesultanan di pesisir Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, serta selatan Filipina, dokumen-dokumen tertulis di kertas dalam bahasa Melayu mulai ditemukan. Surat-menyurat antarpemimpin kerajaan pada abad ke-16 juga diketahui telah menggunakan bahasa Melayu. Karena bukan penutur asli bahasa Melayu, mereka menggunakan bahasa Melayu yang "disederhanakan" dan mengalami percampuran dengan bahasa setempat, yang lebih populer sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada masa ini telah menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau juga menggunakan huruf setempat, seperti hanacaraka.
Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan abad ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan alfabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini.
Di Indonesia, pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan buku-buku pelajaran dan sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu dan bahkan membentuk suatu varian bahasa tersendiri yang mulai berbeda dari induknya, bahasa Melayu Riau. Kalangan peneliti sejarah bahasa Indonesia masa kini menjulukinya "bahasa Melayu Balai Pustaka" atau "bahasa Melayu van Ophuijsen". Van Ophuijsen adalah orang yang pada tahun 1901 menyusun ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin untuk penggunaan di Hindia-Belanda. Ia juga menjadi penyunting berbagai buku sastra terbitan Balai Pustaka. Dalam masa 20 tahun berikutnya, "bahasa Melayu van Ophuijsen" ini kemudian dikenal luas di kalangan orang-orang pribumi dan mulai dianggap menjadi identitas kebangsaan Indonesia. Puncaknya adalah ketika dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) dengan jelas dinyatakan, "menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Sejak saat itulah bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa kebangsaan.
Introduksi varian kebangsaan ini mendesak bentuk-bentuk bahasa Melayu lain, termasuk bahasa Melayu Tionghoa, sebagai bentuk cabang dari bahasa Melayu Pasar, yang telah populer dipakai sebagai bahasa surat kabar dan berbagai karya fiksi di dekade-dekade akhir abad ke-19. Bentuk-bentuk bahasa Melayu selain varian kebangsaan dianggap bentuk yang "kurang mulia" dan penggunaannya berangsur-angsur melemah.
Pemeliharaan bahasa Melayu standar (bahasa Indonesia) terjaga akibat meluasnya penggunaan bahasa ini dalam kehidupan sehari-hari. Sikap orang Belanda yang pada waktu itu tidak suka apabila orang pribumi menggunakan bahasa Belanda juga menyebabkan bahasa Indonesia menjadi semakin populer.
Bahasa Melayu di Indonesia dikelompokkan menjadi dua, yaitu Melayu Barat Indonesia dan Melayu Timur Indonesia. Bahasa Melayu Nusantara Barat banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, bahasa Persia, dan bahasa Sansekerta, dan dianggap lebih dekat dengan tanah asalnya, yang oleh Nothofer dan Collins Kalimantan Baratlah sebagai tanah asal bahasa Melayu. Bahasa Melayu Barat Indonesia dipergunakan di wilayah Sumatera, yakni di daerah Aceh, Medan, Riau, Palembang, Bangka-Belitung, dan juga di wilayah Pulau Jawa, yaitu Jakarta, di Kalimantan (yakni Kalimantan Barat, Timur, dan Selatan) dan Bali. Sedangkan bahasa Melayu Timur Indonesia mencakup wilayah Pulau Sulawesi (Makasar dan Manado), Maluku, Ternate, Kepulauan Bacan, Kepulauan Banda, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.

Saturday, October 2, 2010

Asal Usul Nama 'Amerika' (America)


Banyak sejarah yang rancu mengenai penemu benua Amerika, sebagian mengklaim bahwa penemu benua Amerika adalah serorang Portugis bernama Joao vas de Corte Real pada tahun 1472. Namun, tidak banyak masyarakat dunia yang mengetahui tentang sejarah tersebut, mereka hanya mengenal Christoper Colombus yang datang di benua tersebut pada tahun 1492. Dalam hal ini, kita tidak akan membicarakan siapa sebenarnya penemu benua Amerika melainkan dari mana asal muasal nama ‘Amerika’ itu lahir.
Konon Colombus ditugaskan oleh pihak kerajaan Spanyol untuk melakukan ekspedisi menjelajah bumi dengan menggunakan kapal ekspedisi yang dibiayai oleh kerajaan Spanyol. Dalam perjalannya, Kapal tersebut sempat singgah beberapa kali di berbagai tempat di Asia di antaranya di pulau Jawa sebelum melanjutkan perjalanya menemukan benua yang lebih besar. Dalam persinggahan kapal Colombus di tanah Jawa, Ketua ekspedisi tersebut merekrut beberapa penduduk setempat untuk menjadi awak kapal ekspedisi, termasuk di antaranya adalah penduduk pulau Jawa. Salah satu awak kapal dari Banyumas menempati posisi sebagai peneropong yang kemudian diminta untuk melaporkan hasil peneroponganya di atas dek kapal kepada Colombus mengenai keadaan di depan kapal guna memperlancar perjalanan. Colombus juga meminta agar si awak tersebut memberitahu jika ada daratan di depan arah kapal tersebut.
Pada suatu ketika, dalam peneropongannya, awak kapal tersebut melihat sebuah daratan yang sangat luas, lalu bergegas turun dari atas dek dan memanggil Colombus untuk melihat hasil peneroponganya. Dengan gembiranya, Colombus pun bergegas naik ke atas dek kapal dan menanyakan kepada si awak tersebut, “di mana daratan itu” lalu sambil menunjuk daratan tersebut si awak tersebut secara berulang-ulang menjawab “Amrika....!!!!” “ Amrika...!!!” “Amrika....!”(maksudnya adalah ‘di sana’), kemudian secara spontan Colombus menamai daratan tersebut dengan nama “Amerika”.    
Dari cerita di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa asal usul nama ‘Amerika’ adalah dari bahasa Jawa Banyumas ‘Amrika’ yang berarti ‘di sana’,. Tidak terbayangkan jika Colombus merekrut awak kapal dari Jogja atau Solo mungkin benua tersebut sudah bernama ‘Ameriko’