Friday, October 15, 2010

Bahasa Melayu Sebagai Lingua Franca


Bahasa Melayu adalah sejumlah bahasa yang saling bermiripan yang dituturkan di wilayah Nusantara. Sebagai bahasa yang luas pemakaiannya, bahasa ini menjadi bahasa resmi di Brunei, Indonesia (sebagai bahasa Indonesia), dan Malaysia (juga dikenal sebagai bahasa Malaysia). Bahasa Melayu, yang menjadi bahasa resmi dan bahasa kebangsaan negara Indonesia sejak merdeka, merupakan bahasa yang terbesar di dunia, khususnya negeri-negeri sebelah Asia Tenggara, atau lebih dikenal dengan negeri-negeri Nusantara.
Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di bawah rumpun bahasa Austronesia. Menurut statistik penggunaan bahasa di dunia, penutur bahasa Melayu diperkirakan mencapai lebih kurang 250 juta jiwa yang merupakan bahasa keempat dalam urutan jumlah penutur terpenting bagi bahasa-bahasa di dunia. Di nusantara, bahasa Melayu menjadi lingua franca sejak lebih dari seribu tahun yang lalu. Di masa kini, penutur bahasa Melayu Indonesia sekitar seperempat milyar orang (Tadmor, 2007: 195). Para penutur bahasa Melayu tersebut tersebar sepanjang nusantara, dari barat sampai timur. Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuna berasal dari abad ke-7 Masehi, dan tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatera dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara Pallawa. Selanjutnya, bukti-bukti tertulis bermunculan di berbagai tempat, meskipun dokumen terbanyak kebanyakan mulai berasal dari abad ke-18.
Sejarah penggunaan yang panjang ini tentu saja mengakibatkan perbedaan versi bahasa yang digunakan. Ahli bahasa membagi perkembangan bahasa Melayu ke dalam tiga tahap utama, yaitu
  • Bahasa Melayu Kuna (abad ke-7 hingga abad ke-13)
  • Bahasa Melayu Klasik, mulai ditulis dengan huruf Jawi (sejak abad ke-15)
  • Bahasa Melayu Modern (sejak abad ke-20)
Walaupun demikian, tidak ada bukti bahwa ketiga bentuk bahasa Melayu tersebut saling bersinambung. Selain itu, penggunaan yang meluas di berbagai tempat memunculkan berbagai dialek bahasa Melayu, baik karena penyebaran penduduk dan isolasi, maupun melalui kreolisasi.
Bahasa Melayu Kuno merupakan keluarga bahasa Nusantara. Kegemilangannya dari abad ke-7 hingga abad ke-13 pada zaman kerajaan Sriwijaya, sebagai lingua franca dan bahasa pentadbiran. Penuturnya bahasa Melayu Kuno berada di Semenanjung, Kepulauan Riau dan Sumatera.
Melayu Kuno menjadi lingua franca dan sebagai bahasa pentadbiran karena bersifat sederhana dan mudah menerima pengaruh luar, tidak terikat kepada perbezaan susun lapis masyarakat, dan mempunyai sistem yang lebih mudah berbanding dengan bahasa Jawa. Melayu Kuno banyak dipengaruhi oleh sistem bahasa Sanskrit. Bahasa Sanskrit kemudian dikenal pasti menyumbang kepada pengkayaan kosa  kata dan ciri-ciri keilmuaan (kesarjanaan) Bahasa Melayu. Bahasa Melayu juga mudah dipengaruhi Sanskrit karena: Pengaruh agama Hindu, Bahasa Sanskrit terletak dalam kelas bangsawan, dan dikatakan mempunyai hierarki yang tinggi, dan Sifat bahasa Melayu yang mudah dilentur mengikut keadaan dan keperluan.
Peralihan dari bahasa Melayu Kuno ke bahasa Melayu Klasik dikaitkan dengan pengaruh agama Islam yang semakin mantap di Asia Tenggara pada abad ke-13. Selepas itu, bahasa Melayu mengalami banyak perubahan dari segi kosa kata, struktur ayat dan tulisan.
Selepas masa Sriwijaya, catatan tertulis tentang dan dalam bahasa Melayu baru muncul semenjak masa Kesultanan Malaka (abad ke-15). Laporan Portugis dari abad ke-16 menyebut-nyebut mengenai perlunya penguasaan bahasa Melayu untuk bertransaksi perdagangan. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Portugis di Malaka, dan bermunculannya berbagai kesultanan di pesisir Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, serta selatan Filipina, dokumen-dokumen tertulis di kertas dalam bahasa Melayu mulai ditemukan. Surat-menyurat antarpemimpin kerajaan pada abad ke-16 juga diketahui telah menggunakan bahasa Melayu. Karena bukan penutur asli bahasa Melayu, mereka menggunakan bahasa Melayu yang "disederhanakan" dan mengalami percampuran dengan bahasa setempat, yang lebih populer sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada masa ini telah menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau juga menggunakan huruf setempat, seperti hanacaraka.
Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan abad ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan alfabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini.
Di Indonesia, pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan buku-buku pelajaran dan sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu dan bahkan membentuk suatu varian bahasa tersendiri yang mulai berbeda dari induknya, bahasa Melayu Riau. Kalangan peneliti sejarah bahasa Indonesia masa kini menjulukinya "bahasa Melayu Balai Pustaka" atau "bahasa Melayu van Ophuijsen". Van Ophuijsen adalah orang yang pada tahun 1901 menyusun ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin untuk penggunaan di Hindia-Belanda. Ia juga menjadi penyunting berbagai buku sastra terbitan Balai Pustaka. Dalam masa 20 tahun berikutnya, "bahasa Melayu van Ophuijsen" ini kemudian dikenal luas di kalangan orang-orang pribumi dan mulai dianggap menjadi identitas kebangsaan Indonesia. Puncaknya adalah ketika dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) dengan jelas dinyatakan, "menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Sejak saat itulah bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa kebangsaan.
Introduksi varian kebangsaan ini mendesak bentuk-bentuk bahasa Melayu lain, termasuk bahasa Melayu Tionghoa, sebagai bentuk cabang dari bahasa Melayu Pasar, yang telah populer dipakai sebagai bahasa surat kabar dan berbagai karya fiksi di dekade-dekade akhir abad ke-19. Bentuk-bentuk bahasa Melayu selain varian kebangsaan dianggap bentuk yang "kurang mulia" dan penggunaannya berangsur-angsur melemah.
Pemeliharaan bahasa Melayu standar (bahasa Indonesia) terjaga akibat meluasnya penggunaan bahasa ini dalam kehidupan sehari-hari. Sikap orang Belanda yang pada waktu itu tidak suka apabila orang pribumi menggunakan bahasa Belanda juga menyebabkan bahasa Indonesia menjadi semakin populer.
Bahasa Melayu di Indonesia dikelompokkan menjadi dua, yaitu Melayu Barat Indonesia dan Melayu Timur Indonesia. Bahasa Melayu Nusantara Barat banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, bahasa Persia, dan bahasa Sansekerta, dan dianggap lebih dekat dengan tanah asalnya, yang oleh Nothofer dan Collins Kalimantan Baratlah sebagai tanah asal bahasa Melayu. Bahasa Melayu Barat Indonesia dipergunakan di wilayah Sumatera, yakni di daerah Aceh, Medan, Riau, Palembang, Bangka-Belitung, dan juga di wilayah Pulau Jawa, yaitu Jakarta, di Kalimantan (yakni Kalimantan Barat, Timur, dan Selatan) dan Bali. Sedangkan bahasa Melayu Timur Indonesia mencakup wilayah Pulau Sulawesi (Makasar dan Manado), Maluku, Ternate, Kepulauan Bacan, Kepulauan Banda, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.