Saturday, September 4, 2010

Pemertahanan bahasa, perpindahan bahasa, kehilangan bahasa, dan kematian bahasa



Keempat topik di atas yang menjadi pokok bahasan kali ini masih berkaitan dengan masalah kontak bahasa yang terjadi dalam masyarakat bilingual atau multilingual. Berikut akan diuraikan secara rinci mengenai fenomena-fenomena kebahasan tersebut di atas.
a. Pemertahanan bahasa
Pemertahanan bahasa adalah usaha agar suatu bahasa tetap dipakai dan dihargai, terutama sebagai identitas kelompok, dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan melalui pengajaran, kesusastraan, media massa, dan sebagainya (Kridalaksana, 2001:159). Sering dijumpai kasus kebahasan dalam masyarakat bahwa penggunaan B1 oleh sejumlah penutur dari suatu masyarakat yang bilingual atau multilingual cenderung menurun akibat adanya B2 yang lebih yang mempunyai fungsi yang lebih superior.  Namun dalam contoh kasus bahasa tertentu, ada bahasa yang sanggup bertahan dari ‘tekanan’ bahasa yang lebih dominan. Penelitian yang dilakukan Sumarsono (dalam Chaer dan Agustina) berikut akan memaparkan bagaimana bahasa Melayu Loloan di Bali mampu bertahan di tengah bahasa Bali yang lebih dominan.
Penduduk desa Loloan, Bali berjumlah tiga ribu jiwa dan tidak menggunakan bahasa Bali melainkan bahasa Melayu Loloan, sebagai B1 dan mereka semua beagama Islam. Di tengah bahasa B2 yang lebih dominan, yaitu bahasa Bali, mereka dapat bertahan untuk tetap menggunakan menggunakan bahasa pertamanya, yaitu bahasa Melayu Loloan, sejak abad ke-18 yang lalu, ketika leluhur mereka yang mengaku berasal dari Bugis dan Pontianank tiba di tempat itu. Menurut Sumarsono (1990) ada beberapa Faktor yang menyebabkan masyarakat penutur bahasa Melayu Loloan dapat mempertahankan bahasa mereka, yaitu:
·         Wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada suatu tempat yang secara geografis agak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali.
·         Adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan, meskipun dalam berinteraksi itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali.
·         Anggota masyarakat Loloan memiliki sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, dan bahasa Bali
·         Anggota masyarakat Loloan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap bahasa mereka, karena mereka mengganggap bahwa bahasa Melayu Loloan merupakan lambang identitas masyarakat Loloan yang beragama islam.
Berdasarkan faktor-faktor diatas, masyarakat melayu Loloan mampu mempertahankan bahasa mereka terhadap bahasa Bali yang lebih dominan.
b. Perpindahan bahasa
Perpindahan bahasa atau yang kerap juga disebut pergeseran bahasa (language shift) menurut Kridalaksana (2001) adalah perubahan secara tetap dalam pilihan bahasa seseorang untuk keperluan sehari-hari, terutama akibat dari migrasi. Chaer dan Agustian (2004) menambahkan bahwa Perpindahan bahasa merupakan hal yang berkaitan dengan masalah penggunaan bahasa oleh seorang atau sekelompok penutur yang bisa terjadi, akibat perpindahan dari suatu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. pada umumnya, pergeseran bahasa terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang menjanjikan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang para imigran atau transmigran untuk datang ke tempat-tempat tersebut dengan harapan untuk mendapat kehidupan yang tentunya lebih baik dari sebelumnya.
Ada beberapa faktor utama yang menjadi penyebab pergeseran bahasa yaitu faktor migrasi, ekonomi, sosial, dan politik. Berikut akan diruaikan mengenai beberapa faktor penyebab pergeseran bahasa tersebut.
Faktor ekonomi menduduki peranan penting sebagai faktor utama pendorong perpindahan bahasa, sebagai contohnya seperti yang dilaporkan Ayatrohaedi (dalam Chaer dan Agustina) mengenai kasus bahasa Sunda di desa Legok, Indramayu, yang telah punah ditinggal para penuturnya. Sampai tahun enam puluhan penduduk desa itu masih berbahasa Sunda; tetapi sekarang mereka hanya dapat berbahasa Cirebon, sebagai akibat tidak adanya pilihan lain selain menggunakan bahasa Jawa Cirebon. Lancarnya arus transportasi ke Cirebon sehingga memudahkan mereka mendapatkan perekonomian yang lebih baik dan wilayahnya yang terkepung oleh komunitas penutur bahasa Cirebon menyebabkan mereka beralih menggunakan bahasa Cirebon untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Faktor migrasi menduduki peran yang tidak kalah penting dalam perpindahan bahasa, arah migrasi dapat dibagi menjadi dua: pertama, beberapa kelompok kecil bermigrasi ke daerah atau negara yang lain, sehingga menyebabkan bahasa mereka tidak digunakan di wilayah yang baru. Seperti yang terjadi pada kelompok-kelompok migrasi berbagai etnik di Amerika Serikat; Kedua, arah migrasi yang sebaliknya, yaitu migrasi gelombang besar penutur bahasa membanjiri sebuah wilayah kecil dengan sedikit penduduk, sehingga menyebabkan terpecahnya penduduk setempat dan pergeseran bahasa tidak lagi dapat dihindari. Hal ini banyak terjadi di berbagai wilayah di Inggris ketika industri mereka berkembang. Bahasa-bahasa kecil yang dituturkan penduduk setempat tergeser oleh bahasa Inggris yang dibawa oleh buruh industri ketempat kecil tersebut.
Pergeseran bahasa yang mengacu pada pergeseran kelompok-kelompok kecil (sedikit penutur) dan rendah status ke arah kelompok bahasa yang lebih besar dan berstatus sosial tinggi merupakan kasus pergeseran bahasa yang berhubungan dengan faktor sosial.
Sekolah juga tidak kalah berperan sebagai faktor penyebab pergeseran bahasa, karena di sekolah seseorang di ajarkan B2 yang berbeda dari bahasa ibunya, misalnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dll.


c. Kehilangan bahasa
Pergeseran bahasa (language shift) menjadi penyebab utama kehilangan bahasa, fenomena ini merupakan efek dari perpindahan fungsi bahasa tersebut dan berlaku untuk  masyarakat bilingual maupun multilingual. Proses awalnya adalah ketika sekelompok masyarakat menguasai B1, namun karena B1 memiliki peran yang sangat sedikit sekali di dalam komunikasi, sehingga jarang sekali dituturkan, peran bahasa itu kalah dengan bahasa yang dipelajari kemudian memiliki peran yang lebih kuat dalam berkomunikasi. Sehingga lama kelamaan penutur B1 sedikit demi sedikit melupakan bahasanya dan beralih ke B2.
Dalam hal tersebut diatas, Holmes memberikan contoh mengenai kehilangan bahasa seperti yang terjadi pada Annie, seorang penutur bahasa Dyirbal yang berusia 20 tahun, sebuah bahasa suku aborigin di Australia. Dyirbal adalah bahasa pertamanya (B1) lalu ia mempelajari bahasa Inggris di sekolah (B2), dan dalam keseharianya ia lebih banyak menggunakan B2 di setiap aktivitas dibanding B1. Annie dapat mengerti bahasa Dyirbal, namun hanya ia gunakan ketika Annie berkomunikasi dengan neneknya. Tidak ada tulisan dyirbal yang bisa ia baca juga tuturan Dyirbal yang bisa ia dengar, sepanjang aktivitasnya ia menuturkan dan mendengarkan bahasa Inggris, sehingga ia menjadi kurang cakap dalam menggunakan B1nya. Ia hanya mengerti ketika orang-orang tua di komunitasnya berbicara dengan bahasa itu, namun jarang sekali menuturkannya sehingga banyak kosakata dan stuktur bahasa yang terlupakan begitu saja. Dengan demikian kemampuannya dalam bahasa itu semakin berkurang dan berkurang. Bahkan neneknya sering mengatakan bahwa Annie tidak berbicara bahasa Dyirbal dengan baik.
Contoh di atas merupakan kasus yang terjadi berkaitan dengan kehilangan bahasa, Annie hanyalah salah satu contoh, karena masih banyak lagi fenomena-fenomena lain yang berkenaan dengan kehilangan bahasa.
d. Kematian bahasa
Kematian bahasa terjadi ketika suatu bahasa sudah tidak memiliki penutur, memang hal yang sangat disayangkan jika suatu bahasa harus punah, karena bahasa tidak hanya alat komunikasi yang digunakan dalam komunitas masyarakat, lebih dari itu, di dalam suatu bahasa menyimpan khazanah budaya dan kearifan lokal tersendiri; yang kesemuanya ikut punah ketika suatu bahasa mati dan tak lagi memiliki penutur. Jika bahasa tersebut memiliki aksara, sehingga khazanah atau kearifan yang tersimpan dalam bahasa sudah didokumentasi dalam manuskrip, maka kekayaan yang ada dalam bahasa tersebut bisa dipelajari oleh generasi selanjutnya meski bahasa tersebut telah mati. Akan lebih mengenaskan lagi jika suatu bahasa tidak memiliki aksara dan tradisi tulis dan kemudian punah. Sudah dipastikan bahwa bahasa dan segala yang tersimpan di dalamnya akan punah pula. Menurut Holmes (1992), proses matinya sebuah bahasa hampir sama dengan proses pergeseran bahasa. Kloss (dalam Sumarsono, 2008:286), mengatakan bahwa terdapat tipe utama kepunahan bahasa: (a) kepunahan bahasa tanpa adanya pergeseran; (b) kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa; (c) kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis (turunya derajat bahasa menjadi dialek dan mulai ditinggalkannya bahasa tersebut oleh para penutur.
Dalam hal ini, contoh fenomena yang terjadi bahwa pada 200 bahasa aborigin yang dituturkan di Australia, ketika eropa masuk ke daerah tersebut, sekitar 50 – 70 punah dengan seketika akibat pembunuhan masal oleh bangsa eropa juga akibat dari penyakit yang di bawa oleh bangsa tersebut yang mengakibatkan kematian para penutur bahasa. Fenomena lain adalah, punahnya bahasa Manx bahasa di sebuah pulau kecil Man, bersamaan dengan meninggalnya penutur terakhir dari bahasa itu, bernama Ned Maddrell pada tahun 1974. Dan punahnya bahasa Cornish di Cornwall bersamaan ketika penuturnya Dolly Pentreath meninggal pada tahun 1977 (Holmes, 1992:62).
Kematian sebuah bahasa tidak terjadi begitu saja, sebelum sebuah bahasa berangsur-angsur punah, terdapat proses pergeseran demi pergeseran bahasa yang penyebabnya adalah fungsi bahasa di suatu daerah diambil alih oleh bahasa lain, hal ini terjadi biasanya terhadap bahasa minoritas terhadap bahasa mayoritas, dimana bahasa mayoritas mengambil alih fungsi bahasa minoritas, sehingga hal yang tidak dapat terelakkan adalah terjadilah perpindahan bahasa yang berakhir pada kepunahan bahasa. Berbeda halnya, jika adanya kesadaran penutur, lantas masyarakat penutur tersebut mengantisipasi dengan mengadakan berbagai upaya pemertahanan bahasa sebagaimana yang telah disinggung di atas.

0 comments: